Thursday, December 11, 2008

Khusnul Khotimah, 12 Tahun Hidup dengan Anus Buatan

Selama 12 tahun ia hidup dengan anus buatan di perutnya. Satu keinginannya, punya anus seperti yang dimiliki kebanyakan orang.

Mata Hatima berkaca-kaca. Ia tidak bisa lagi membendung butiran air yang keluar dari matanya. Dengan tarikan nafas yang dalam, ia mulai bercerita kondisi putri pertamanya, Khusnul Khotima (12) yang mengalami kelainan atresiani atau lahir tidak punya anus. Hatima benar-benar tak menyangka bila anak yang dilahirkannya itu mempunyai kelainan. “Bener Mas, kami tak mengira kalau khusnul lahir seperti itu,” tutur perempuan kelahiran Kamal, Madura itu menerawang ketika ditemui Al Falah beberapa waktu lalu di kamar kosnya ukuran 4 x 4 meter persegi di daerah RS PHC (RS Pelabuhan).

Menurutnya, yang dia rasakan sesaat setelah melahirkan adalah tangisan bayinya yang tak mau berhenti. Padahal, lanjutnya, ia sudah memberi ASI. Namun begitu, tak lama terdiam, anaknya menangis kembali. Beberapa hari ia dibuat heran dengan apa yang terjadi itu. Hingga, tiga hari setelah melahirkan itu, suaminya, Mukhlis memeriksa pantat anaknya yang ia dapati tak ada lubang anusnya.

Kaget dan terhenyak melihat kondisi itu. Dengan langkah cepat bayi merah itu ia bawa ke rumah sakit PHC Surabaya. Namun demikian, setelah diperiksa dan karena keterbatasan alat operasi akhirnya penanganan dirujuk ke RS dr. Soetomo. Dokter pun melakukan operasi anoplasty atau operasi pembuatan lubang anus di perut anaknya.

Pusing Setiap Kali Ingin Buang Air Besar

Kini Khusnul Khotimah sudah berusia 12 tahun dan duduk di kelas 5 madrasah ibtidaiyah (MI). Selama itu pula Khusnul hidup tanpa lubang anus seperti yang dimiliki orang kebanyakan, tetapi hidup dengan anus buatan yang ada sisi kanan perutnya. Meskipun baginya tidak terlalu mempengaruhi keceriaannya bermain, toh kelainan itu membawa keluhan lain. Dengan bahasa lugunya ia mengatakan seringkali merasakan pusing ketika kotorannya akan keluar. Untuk mengobati keluhan putrinya itu, Hatima hanya memberikan super tetra, obat yang dia beli dari warung sebelah tempat kosnya di Jalan Kalianget, Surabaya.

“Saya pengen sekali sembuh, biar tidak sakit seperti sekarang ini,” kata Khusnul sambil menunjukkan lubang anusnya yang hanya ditutupi dengan kain untuk menampung kotorannya. Namun demikian, beban ekonomi yang berat membuat Hatima, yang bekerja sebagai buruh cuci dan pencari besi tua itu tak mampu menuruti keinginan putrinya itu.

Ditambah lagi kondisi anak ketiganya, Agus Supriyanto (5) terkena penyakit polio sehingga tidak bisa berjalan. Harapannya mereka hanya satu, uluran tangan dan bantuan dari dermawan yang bisa mengabulkan keinginan Khusnul punya anus betulan, bukan buatan. “Saya bersyukur kalau ada yang mau membantu. Karena saya sudah ke mana-mana mencari biaya tapi tak dapat hasil,” kata Hatima dengan mata berkaca-kaca. Kepedulian Anda bisa disalurkan melalui Yayasan Dana Sosial Al Falah Surabaya, di 031-505 6650. (Anam)

Tuesday, December 25, 2007

Wartawan Checklok

Wartawan Checklok. Ya, sebutan baru itulah yang dalam beberapa bulan ini dialamatkan pada saya. Setelah beberapa tahun menjalani profesi sebagai jurnalis, baru kali ini saya mendapat ‘julukan’ baru seperti itu.

Alasan yang mungkin dipakai teman-teman menjuluki saya sebagai Wartawan Checklok adalah karena saya setiap hari harus ngantor dengan absen checklok. Ya begitulah. Saya pun merasa baru kali ini kerja sebagai kuli tinta harus datang pagi hari sebelum pukul 08.15, lalu cepet-cepetan mengisi daftar hadir dengan checklok.

Saat jam pulang sore hari pun hal yang sama saya lakukan. Ya, begitulah adanya. Rutinitas cheklok dua kali sehari hukumnya wajib. Bila tidak, hemm...tahu sendirilah...

Beberapa kawan di tempat saya bekerja, seringkali bila ketemu sambil meringis langsung menyapa, ”Yaopo Wartawan Checklok, Rek?” Mendengar sapaan itu, saya hanya ketawa saja. Saya kira asyik juga dibuat guyonan, heheheee...

Kebiasaan yang benar-benar baru itu, awalnya membuat saya kelimpungan karena belum terbiasa. Bayangkan saja, selama beberapa waktu lamanya sebagai jurnalis, baru kali ini saya menemukan aturan wartawan wajib mengisi ’daftar hadir’ seperti itu, dan hebatnya lagi harus tepat jam masuk karyawan kantor.

Pernah sih saya mendengar, di suatu koran harian di Surabaya wartawannya harus menggunakan cara itu. Tetapi, mereka tidak harus mengisinya pada waktu pagi hari seperti layaknya jam-jam masuk karyawan kantor biasa. Melainkan boleh juga cheklok siang, sore atau malam hari. Yang penting ngisi, sebagai tanda masuk kerja. Mungkin karena kerja wartawan yang jam kerjanya tak tentu itu yang membuat aturan itu
dibuat fleksibel seperti itu.

Tapi di tempat saya bekerja? Namanya aja bukan kantor media, meskipun kerjanya sebagai wartawan, ya tetap mengikuti aturan masuk karyawan biasa. Atau mungkin pula untuk meningkatkan etos kerja, atau bisa juga untuk memenuhi target jam kerja bisa tercapai. Atau alasan lain yang mungkin juga tidak saya ketahui.

Tapi saya fikir, bukan menjadikan wartawan enjoy dengan pekerjaannya, tapi malah membuat wartawan terbebani dan kerja menjadi tidak efektif. Kerja yang sebenarnya secara otomatis sudah banyak menyita waktu harus diatur dan malah dibatasi. Trus, mau bagaimana lagi. Wawancara harus tetap dilakukan dan majalah harus diterbitkan. Jadi, hidup Wartawan Checklok!

Friday, December 21, 2007

Belajar dari Tukang Parkir

“Assalamu’alaikum...,” Salam Maula“Walaikumusalam..., Nak Mas baru pulang?” balas Ki Bijak“Ya Ki...” Kata Maula sambil beranjak duduk dihadapan gurunya.“Nak Mas bawa motor kekantor...?” Tanya Ki Bijak sambil melirik kearah parkir motor diluar masjid.“Ya Ki, tapi sambil pintu Tol saja, kemudian ana ikut mobil teman kekantor...,” kata Maula“Motornya ditinggal di mana...?” tanya Ki Bijak“Di penitipan Ki..., kalau pagi hari, ratusan motor berjejer di sana Ki...,” kata Maula.“Kalau sore hari...?” pancing Ki Bijak.“Kalau sore hari, tempat penitipan itu kosong melompong, mungkin hanya satu dua saja, milik karyawan yang shif malam...,” kata Maula.“Seharusnya kita bisa belajar banyak dari penjaga penitipan motor itu Nak Mas...,” kata Ki Bijak lagi.“Apa yang bisa kita pelajari Ki....?” tanya Maula.“Nak Mas, perhatikan si penjaga penitipan motor itu. Ketika pagi hari banyak motor yang masuk ketempat parkirnya, dia bersikap biasa saja, wajar saja, tidak berlebihan, dan tidak merasa bahwa motor-motor itu adalah miliknya, ia dengar sadar bahwa motor-motor itu hanya titipan...,” kata Ki Bijak.“Lalu...,” tanya Maula.“Pun ketika sore hari tiba, saat motor-motor itu satu demi satu diambil pemiliknya, hingga tempat parkirnya kosong sama sekalipun, ia tidak lantas merasa khawatir apalagi menangisi motor-motor yang diambil pemiliknya. Ia ‘merelakan’ motor-motor itu pergi meninggalkannya. Sekali lagi karena ia sadar, bahwa motor-motor itu hanya titipan...,” kata Ki Bijak lagi.Maula merenung sejenak, mencoba menyimak arah pembicaraan gurunya.“Sikap untuk tidak berlebihan dan berlaku wajar ketika motor-motor itu datang memenuhi area parkirnya, dan ketika motor-motor itu diambil pemiliknya itulah sebuah pelajaran yang sangat baik bagi kita Nak Mas,” kata Ki Bijak“Ketika kita dikaruniai Allah kelapangan rezeki, harta yang berlimpah, pangkat dan kedudukan yang tinggi, saat itu kira-kira mirip dengan motor-motor yang datang memasuki area ditukang parkir, dan dalam hal ini tukang parkir itu adalah kita,” kata Ki Bijak.“Lalu Ki...,” tanya Maula. “Lalu sikap yang harus kita miliki ketika kita tengah pada posisi itu adalah persis seperti tukang parkir itu. Tidak berlebihan, tidak menjadi sombong, tidak merasa bahwa apa yang ada pada kita sekarang bukan mutlak miliknya, tapi hanya ‘titipan’. Harta yang ada pada kita adalah titipan, rezeki kita yang berlimpah adalah titipan, pangkat dan jabatan adalah titipan, anak kita, istri kita, suami kita, bahkan anggota badan kita dan nyawa kita pun titipan, yang suatu saat pasti diambil oleh pemiliknya yang hakiki...,” beber Ki Bijak.“Dengan bersikap seperti itu, pada saatnya harta, pangkat dan jabatan yang kita sandang itu harus dikembalikan atau diambil oleh pemiliknya kita pun bisa bersikap seperti tukang parkir tadi, tidak cemas, tidak risau, tidak takut, tidak lantas mencari-cari berbagai cara untuk mempertahankannya dengan cara membabi buta, karena kita sadar dan menyadari sepenuhnya, bahwa memang akan ada saat ‘pengambilan barang titipan’ itu oleh pemiliknya...,” kata Ki Bijak.“Ki, apa yang harus kita lakukan pada saat kita ketitipan demikian banyak amanah, seperti harta, pangkat dan jabatan Ki...,” tanya Maula.“Persis seperti tukang parkir itu. Kita harus menjaga ‘titipan-titipan’ itu dengan baik, dalam hal harta, pangkat dan jabatan yang Allah titipkan kepada kita. Kita pun harus pandai-pandai menjaga harta kita. Kita harus pintar memelihara pangkat dan jabatan kita dengan baik dan bertanggung jawab...,” Kata Ki Bijak.“Bagaimana cara menjaganya Ki...,” tanya Maula.“Jaga harta kita agar tidak tercemari oleh harta yang subhat apalagi ada harta haram yang tercampur dalam harta kita. Jaga harta kita dari ‘pencurian’ oleh setan dengan cara membelanjakannya di jalan yang tidak diridhai Allah swt..”“Jaga pangkat dan jabatan kita agar status yang kita sandang itu tidak lantas menjadikan kita sombong, merasa asing, gede hulu, sok-sok dan menggunakan pangkat dan jabatan kita dengan melampaui batas,” jelas Ki Bijak panjang lebar.“Lalu, bagaimana sikap kita saat titipan itu diambil oleh pemiliknya Ki...?” tanya Muala lagi.“Ucapkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un...,” kata Ki Bijak. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Ki.........?” tanya Maula“Ya Nak Mas, apa yang ada pada kita semuanya dari Allah, dan pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Persis si tukang parkir tadi. Ia dengan ikhlas membiarkan motor-motor di areanya diambil kembali oleh pemilik-Nya...,” kata Ki Bijak.“Ki, mungkinkah kita mendapatkan kepercayaan yang lebih lama untuk menjaga amanah harta, pangkat dan jabatan...?” tanya Maula.“Mungkin saja Nak Mas. Allah akan memberikan kemulian kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah akan memberikan harta kepada siapa yang dikehendaki, seperti termaktub dalam surat Ali Imran ayat 26. ”Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”“Jadi menurut Aki, agar kita dipercaya lebih lama untuk menjaga harta, pangkat dan jabatan kita adalah dengan menjadikan kita sebagai ‘orang yang dikehendaki oleh Allah’, yaitu dengan mensyukurinya dan senantiasa bertaqwa kepada-Nya dengan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun...,” kata Ki Bijak menerangkan.“Lagi-lagi seperti tukang parkir itu. Ketika selama menjaga motor-motor yang dititipkan padanya dengan baik, dengan tidak melalaikan tanggung jawab dan kewajibannya, bahkan dengan cara membersihkannya, misalnya, insyaallah Nak Mas pun tidak akan ragu untuk menitipkan motor Nak Mas di tempat yang sama setiap hari di sana dan untuk jangka waktu yang lama...,” kata Ki Bijak.“Sebaliknya, ketika pertama kali Nak Mas menitipkan motor di sana, kemudian sore harinya Nak Mas menemukan goresan pada motor Nak Mas, atau spionnya hilang, insyaallah, itulah kali pertama dan terakhir Nak Mas menitipkan motor Nak Mas di sana. Bukan begitu Nak Mas...?” kata Ki Bijak.“Aki benar Ki. Ketika pertama kali ana menitipkan di sana, ada perasaan was-was dan ragu. Tapi sekarang tidak lagi. Karena ana percaya ada yang menjaganya...,” Kata Maula. “Ya seperti itu Nak Mas. Maka dari itu belajarlah lebih banyak pada tukang parkir sekalipun..,” kata Ki Bijak.“Ya, Ki...,” Kata Maula pendek sambil berpamitan.